0
Riba, adakah pengaruh nya dalam proses belajar mengajar?







Pekan ini adalah pekan yang sibuk bagi guru-guru di sekolah. Pekan yang penuh dengan berbagai aktivitas. Aktivititas Ramadhan dan aktivitas di akhir semester genap yang merupakan saat yang menentukan bagi seorang siswa apakah naik kelas atau tinggal kelas setelah satu semester ini belajar di sekolah.

Banyak hal yang terjadi di setiap akhir semester genap. Biasa nya baik guru maupun siswa terfokus pada nilai-nilai pelajaran yang selama ini mereka pelajari. Ada nilai-nilai harian, nilai tengah semester dan tentu saja nilai di akhir semester ini.

Karena kecerdasan siswa itu bervariasi, maka nilai yang mereka peroleh pun pasti bervariasi. Dan variasi nilai itu menjadisalah satu ukuran bahwa proses pembelajaran berhasil. Seandai nya semua siswa memperoleh nilai 100, justru harus dipertanyakan, soal nya terlalu mudah kah? Atau mereka mendapat bocoran?? Sebalik nya kalau nilai siswa buruk semua, ini juga harus dipertanyakan, soal nya yang terlalu sulit? Siswa nya yang “kurang” semua, atau jangan-jangan faktor guru nya sebagai pendidik???

Tidak banyak guru yang mau disalahkan atas nilai siswa yang buruk. Para guru cenderung menyalahkan siswa atas ketidakmampuan mereka mengerjakan soal-soal ujian. Wajar, karena guru lebih senior, lebih banyak pengalaman, cenderung menyalahkan siswa yang memang karakter mereka saat ini adalah lebih banyak menatap “layar” daripada kertas alias buku.

Tulisan ini saya buat bukan untuk men”judge” guru, akan tetapi lebih kepada upaya agar kita sebagai guru tidak selalu menunjuk atau menyalahkan  siswa kita yang notabene adalah anak-anak kita sendiri atas nilai mereka yang kurang.

Mengapa kita harus merefleksi diri sendiri? Pertama, proses belajar mengajar adalah proses dua arah, ada aksi dan reaksi. Artinya, hal-hal yang terjadi selama proses pembelajaran berasal dari dua belah pihak, yakni guru dan siswa. Ketika hasil akhir yang memang ditunjukkan dalam bentuk nilai ( lebih tepat nya menurut saya sih angka-angka ) maka harus dievaluasi kedua belah pihak.

Untuk mengevaluasi siswa, akan saya bahas di lain kesempatan. Saat ini saya akan mengevaluasi dari sisi guru. Guru sebagai sosok pendidik, pentransfer nilai-nilai dan ilmu merupakan manusia yang tidak terlepas dari berbagai kesalahan. Dan tulisan ini akan mencoba menyoroti tentang riba, yang memang masih melingkari kehidupan sehari-hari kita, karena sistem perbankan kita masih menggunakan bunga.

Lalu, dimana relevansi riba dan pendidikan? Sebelum kita bahas, mari kita lihat beberapa referensi tentang riba :

Pertama, menurut kitab agama Islam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 275 – 276, Allah SWT menyatakan bahwa: “Orang – orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinyaorang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang – orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Oran yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni – penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya(275). 

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa (276).”

Kedua dalam kitab suci agama nasrani:
“Dan, jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima sesuatu darinya, apakah jasamu? Orang – orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihanilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak – anak Tuhan Yang Mahatinggi sebab Ia baik terhadap orang – orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang – orang jahat (Lukas 6:34-35).” 

KitabExodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan: “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia: janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya.” 

Dari berbagai perspektif yang telah terurai diatas, praktek riba tidak hanya dilarang di agama Islam namun juga telah menjadi pembahasan yang serius di kalangan umat Kristiani, Yahudi, bangsa Yunani dan Romawi. Ada beberapa alasan penting yang mendasari pelarangan praktik riba yaitu karena dari praktik ini telah tercipta ruang hilangnya keseimbangan tata kehidupan sosial ekonomi kemasyarakatan.

Untuk lebih lengkap nya bisa dibaca artikel  berikut : http://www.kompasiana.com/abuamarfauzi/riba-dalam-prespektif-islam-kristen-yahudi-yunani-dan-romawi_54f928e4a33311f1068b47b8.



Jika Ada Berita Seorang Anak Menzinahi Ibu Sendiri, Tentu Kita Geram Sekali “Anak Durhaka Dan Tidak Tahu Malu”, Itu Mungkin Komentar Kita
Bagaimana Jika Kita Mendengar Hadits Ini?
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Bersabda,
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
“Riba Itu Ada 73 Pintu (Dosa). Yang Paling Ringan Adalah Semisal Dosa Seseorang Yang Menzinai Ibu Kandungnya Sendiri. Sedangkan Riba Yang Paling Besar Adalah Apabila Seseorang Melanggar Kehormatan Saudaranya.”
(HR. Al Hakim Dan Al Baihaqi Dalam Syu’abul Iman Syaikh Al Albani Mengatakan Bahwa Hadits Ini Shahih Dilihat Dari Jalur Lainnya)
Itu Yang Paling Ringan.....

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ « الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ، وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ
Jauhilah tujuh dosa besar yang akan menjerumuskan pelakunya dalam neraka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa-dosa tersebut?” Beliau mengatakan, “(1) Menyekutukan Allah, (2) sihir, (3) membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkan, (4) memakan harta anak yatim, (5) memakan riba, (6) melarikan diri dari medan peperangan, (7) menuduh wanita yang menjaga kehormatannya (bahwa ia dituduh berzina)” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89)


Saya tidak mau berpanjang-panjang dalam dalil, selain saya bukan ahli agama, saya khawatir membuka peluang debat yang tak berujung. Silahkan mencari referensi lain tentang riba yang  mungkin berbeda dengan yang saya paparkan.

Nah, sampai sini saya akan mencoba menarik benang merah antara riba dan pendidikan. Pendidikan adalah sebuah proses pembelajaran dimana di dalam nya ada proses transfer ilmu pengetahuan, transfer nilai dari guru kepada siswa.

Guru, yang saat ini mungkin pendapatan nya masih standar ( saya tidak bilang besar atau kecil karena memang relatif ) tentu ingin meningkatkan kehidupan pribadi nya dengan berbagai cara, berbisnis, membuka toko, mengajar di berbagai tempat dan lain-lain. Saya tidak mempermasalahkan itu. yang akan saya coba kaji adalah guru yang status nya PNS diberi kemudahan oleh negara untuk “menyekolahkan” ( istilah yang baru saya dapat dari teman-teman, bahasa halus  dari “digadaikan”/ jadi jaminan ) SK PNS nya di bank konvensional yang memang ditunjuk untuk transfer gaji.
Dan ini memang sangat menggiurkan, karena saat SK PNS dijadikan jaminan peminjaman, dana yang bisa kita pinjam  bisa mencapai 100 juta atau lebih, tergantung golongan dalam kepegawaian.
Awal saya menjadi PNS, saya juga sangat tergiur, kebetulan memang belum punya rumah alias masih kontrak. Apalagi teman-teman kuliah saya yang sudah jadi PNS duluan juga sudah punya rumah karena meminjam uang di Bank, dan mereka juga menganjurkan saya melakukan hal yang sama dengan alasan, kapan lagi punya kesempatan punya rumah? Sesaat nampak benar......namun tidak jadi karera ragu dan dilarang suami. Jadilah SK saya masih ada dalam arsip pribadi saya...dan sampai saat ini masih belum punya rumah sendiri...he..he...
Sampai sini, saya tidak mempermasalahkan guru-guru yang menjaminkan SK nya untuk meminjam uang di bank, karena itu hak masing-masing individu. Saya tidak berhak melarang apalagi memberi stigma negatif. Mereka tetap teman-teman baik saya dalam dunia pendidikan.
Balik lagi ke awal pembahasan, adakah pengaruh nya riba dalam dunia pendidikan? Menurut saya sangat berpengaruh, karena guru ( yang meminjam uang di bank dengan sistem “bunga” ) akan terkena ayat Alquran dan hadist di atas. Artinya selama kita masih bermain dengan “bunga” bank tentu kita masih bergelimang dosa. Bukan berarti yang tidak meminjam uang di bank tidak punya dosa, punya karena gaji juga masih ditransfer dari bank konvensional.
Saya tidak membela diri, tapi gaji adalah (“dipaksa”) oleh  sistem dari pusat, kita tidak bisa memilih, dan kita masih bisa mensiasati dengan tidak mengambil bunga dari gaji kita, yang kita ambil hanyalah gaji pokok saja.   Sedangkan ketika kita meminjam di bank konvensional, itu adalah pilihan kita ( tidak ada yang memaksa ). Artinya kita yang memilih untuk bermain dengan “bunga” bank.
Ini refleksi yang akan coba saya paparkan, ketika kita sudah bermain dengan “bunga” bank, setiap saat itu pula kita bergelimang dengan dosa besar. Ketika setiap hari kita mengajarkan ilmu kepada siswa kita, coba kita berfikir, apakah ilmu yang kita sampaikan akan masuk ke dalam jiwa mereka?
Apakah kita sekedar mentranfer pengetahuan semata? Padahal amanah kurrikulum 2013 adalah bagaimana transfer nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai sosial yang terwujud dalam Kompetensi Inti 1 dan Kompetensi Inti 2. Bagaimana kita mentransfer nilai-nilai KI-1 sedangkan kita sendiri masih bermain dengan dosa yang besar yaitu dosa “RIBA”.
Jadi, bila saat ini anak-anak didik kita mendapat nilai yang buruk di akhir semester,  melakukan praktek kecurangan dalam setiap ujian,  melakukan hal-hal negatif, saat nya kita merefleksi diri kita, jangan-jangan karena kita bergelimang dosa besar, akhirnya ilmu kita tidak berkah, sehingga apa pun yang kita sampaikan kepada siswa kita tidak sampai ke jiwa dan akal mereka.



Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata,
شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ الْمَعَاصِي وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ وَنُورُ اللَّهِ لَا يُهْدَى لِعَاصِي
Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku. Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan padaku bahwa  ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin diberikan pada ahli maksiat.” (I’anatuth Tholibin, 2: 190).

Mohon maaf bila tulisan ini menyinggung atau mengganggu, ini hanya sekedar catatan pribadi, refleksi pribadi, sebagai guru yang juga masih bergelimang dosa agar ke depan bisa dunia pendidikan lebih baik.
Catatan terakhir, sebenar nya sudah ada bank syariah yang menyediakan pembiayaan untuk pegawai, namun belum terlalu populer, sehingga pihak sekolah belum memberikan MOU dengan bank syariah tersebut.

Wallahu a’lam




Next
This is the most recent post.
Previous
Posting Lama

Posting Komentar

 
Top