Riba, adakah pengaruh
nya dalam proses belajar mengajar?
Pekan ini adalah pekan yang sibuk
bagi guru-guru di sekolah. Pekan yang penuh dengan berbagai aktivitas.
Aktivititas Ramadhan dan aktivitas di akhir semester genap yang merupakan saat
yang menentukan bagi seorang siswa apakah naik kelas atau tinggal kelas setelah
satu semester ini belajar di sekolah.
Banyak hal yang terjadi di setiap
akhir semester genap. Biasa nya baik guru maupun siswa terfokus pada
nilai-nilai pelajaran yang selama ini mereka pelajari. Ada nilai-nilai harian,
nilai tengah semester dan tentu saja nilai di akhir semester ini.
Karena kecerdasan siswa itu
bervariasi, maka nilai yang mereka peroleh pun pasti bervariasi. Dan variasi
nilai itu menjadisalah satu ukuran bahwa proses pembelajaran berhasil. Seandai
nya semua siswa memperoleh nilai 100, justru harus dipertanyakan, soal nya
terlalu mudah kah? Atau mereka mendapat bocoran?? Sebalik nya kalau nilai siswa
buruk semua, ini juga harus dipertanyakan, soal nya yang terlalu sulit? Siswa
nya yang “kurang” semua, atau jangan-jangan faktor guru nya sebagai pendidik???
Tidak banyak guru yang mau
disalahkan atas nilai siswa yang buruk. Para guru cenderung menyalahkan siswa
atas ketidakmampuan mereka mengerjakan soal-soal ujian. Wajar, karena guru
lebih senior, lebih banyak pengalaman, cenderung menyalahkan siswa yang memang
karakter mereka saat ini adalah lebih banyak menatap “layar” daripada kertas
alias buku.
Tulisan ini saya buat bukan untuk
men”judge” guru, akan tetapi lebih kepada upaya agar kita sebagai guru tidak selalu
menunjuk atau menyalahkan siswa kita
yang notabene adalah anak-anak kita sendiri atas nilai mereka yang kurang.
Mengapa kita harus merefleksi
diri sendiri? Pertama, proses belajar mengajar adalah proses dua arah, ada aksi
dan reaksi. Artinya, hal-hal yang terjadi selama proses pembelajaran berasal
dari dua belah pihak, yakni guru dan siswa. Ketika hasil akhir yang memang
ditunjukkan dalam bentuk nilai ( lebih tepat nya menurut saya sih angka-angka )
maka harus dievaluasi kedua belah pihak.
Untuk mengevaluasi siswa, akan
saya bahas di lain kesempatan. Saat ini saya akan mengevaluasi dari sisi guru.
Guru sebagai sosok pendidik, pentransfer nilai-nilai dan ilmu merupakan manusia
yang tidak terlepas dari berbagai kesalahan. Dan tulisan ini akan mencoba
menyoroti tentang riba, yang memang masih melingkari kehidupan sehari-hari
kita, karena sistem perbankan kita masih menggunakan bunga.
Lalu, dimana relevansi riba dan
pendidikan? Sebelum kita bahas, mari kita lihat beberapa referensi tentang riba
:
Pertama,
menurut kitab agama Islam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 275 – 276, Allah SWT
menyatakan bahwa: “Orang – orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinyaorang yang kemasukan syaitan lantaran
tekanan penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan
mereka berkata, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang – orang yang telah
sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Oran yang kembali (mengambil riba), maka
orang itu adalah penghuni – penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya(275).
“Allah memusnahkan
riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa (276).”
Kedua dalam kitab
suci agama nasrani:
“Dan, jikalau kamu
meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima sesuatu
darinya, apakah jasamu? Orang – orang berdosa pun meminjamkan kepada orang
berdosa supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, kasihanilah
musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak
mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak – anak
Tuhan Yang Mahatinggi sebab Ia baik terhadap orang – orang yang tidak tahu
berterima kasih dan terhadap orang – orang jahat (Lukas 6:34-35).”
KitabExodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan: “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia: janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya.”
KitabExodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menyatakan: “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih utang terhadap dia: janganlah engkau bebankan bunga uang terhadapnya.”
Dari
berbagai perspektif yang telah terurai diatas, praktek riba tidak hanya
dilarang di agama Islam namun juga telah menjadi pembahasan yang serius di
kalangan umat Kristiani, Yahudi, bangsa Yunani dan Romawi. Ada beberapa alasan
penting yang mendasari pelarangan praktik riba yaitu karena dari praktik ini
telah tercipta ruang hilangnya keseimbangan tata kehidupan sosial ekonomi
kemasyarakatan.
Untuk lebih lengkap nya bisa dibaca artikel berikut : http://www.kompasiana.com/abuamarfauzi/riba-dalam-prespektif-islam-kristen-yahudi-yunani-dan-romawi_54f928e4a33311f1068b47b8.
Untuk lebih lengkap nya bisa dibaca artikel berikut : http://www.kompasiana.com/abuamarfauzi/riba-dalam-prespektif-islam-kristen-yahudi-yunani-dan-romawi_54f928e4a33311f1068b47b8.
Jika Ada Berita Seorang
Anak Menzinahi Ibu Sendiri, Tentu Kita Geram Sekali “Anak Durhaka Dan Tidak
Tahu Malu”, Itu Mungkin Komentar Kita
Bagaimana Jika Kita Mendengar Hadits Ini?
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam Bersabda,
الرِبَا ثَلاَثَةٌ
وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ
أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
“Riba Itu Ada 73 Pintu (Dosa). Yang Paling
Ringan Adalah Semisal Dosa Seseorang Yang Menzinai Ibu Kandungnya Sendiri.
Sedangkan Riba Yang Paling Besar Adalah Apabila Seseorang Melanggar Kehormatan
Saudaranya.”
(HR. Al Hakim Dan Al Baihaqi Dalam Syu’abul
Iman Syaikh Al Albani Mengatakan Bahwa Hadits Ini Shahih Dilihat Dari Jalur
Lainnya)
Itu Yang Paling Ringan.....
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« اجْتَنِبُوا
السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَمَا هُنَّ قَالَ «
الشِّرْكُ بِاللَّهِ ، وَالسِّحْرُ ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِى حَرَّمَ اللَّهُ
إِلاَّ بِالْحَقِّ ، وَأَكْلُ الرِّبَا ، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ ،
وَالتَّوَلِّى يَوْمَ الزَّحْفِ ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ
الْغَافِلاَتِ
“Jauhilah tujuh dosa besar yang akan
menjerumuskan pelakunya dalam neraka.” Para sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah, apa saja dosa-dosa tersebut?” Beliau mengatakan, “(1)
Menyekutukan Allah, (2) sihir, (3) membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah
kecuali dengan alasan yang dibenarkan, (4) memakan harta anak yatim, (5) memakan riba, (6) melarikan diri dari
medan peperangan, (7) menuduh wanita yang menjaga kehormatannya (bahwa ia
dituduh berzina)” (HR. Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89)
Saya
tidak mau berpanjang-panjang dalam dalil, selain saya bukan ahli agama, saya
khawatir membuka peluang debat yang tak berujung. Silahkan mencari referensi
lain tentang riba yang mungkin berbeda
dengan yang saya paparkan.
Nah,
sampai sini saya akan mencoba menarik benang merah antara riba dan pendidikan.
Pendidikan adalah sebuah proses pembelajaran dimana di dalam nya ada proses
transfer ilmu pengetahuan, transfer nilai dari guru kepada siswa.
Guru,
yang saat ini mungkin pendapatan nya masih standar ( saya tidak bilang besar
atau kecil karena memang relatif ) tentu ingin meningkatkan kehidupan pribadi
nya dengan berbagai cara, berbisnis, membuka toko, mengajar di berbagai tempat
dan lain-lain. Saya tidak mempermasalahkan itu. yang akan saya coba kaji adalah
guru yang status nya PNS diberi kemudahan oleh negara untuk “menyekolahkan” (
istilah yang baru saya dapat dari teman-teman, bahasa halus dari “digadaikan”/ jadi jaminan ) SK PNS nya
di bank konvensional yang memang ditunjuk untuk transfer gaji.
Dan ini
memang sangat menggiurkan, karena saat SK PNS dijadikan jaminan peminjaman,
dana yang bisa kita pinjam bisa mencapai
100 juta atau lebih, tergantung golongan dalam kepegawaian.
Awal saya
menjadi PNS, saya juga sangat tergiur, kebetulan memang belum punya rumah alias
masih kontrak. Apalagi teman-teman kuliah saya yang sudah jadi PNS duluan juga
sudah punya rumah karena meminjam uang di Bank, dan mereka juga menganjurkan
saya melakukan hal yang sama dengan alasan, kapan lagi punya kesempatan punya
rumah? Sesaat nampak benar......namun tidak jadi karera ragu dan dilarang
suami. Jadilah SK saya masih ada dalam arsip pribadi saya...dan sampai saat ini
masih belum punya rumah sendiri...he..he...
Sampai sini,
saya tidak mempermasalahkan guru-guru yang menjaminkan SK nya untuk meminjam
uang di bank, karena itu hak masing-masing individu. Saya tidak berhak melarang
apalagi memberi stigma negatif. Mereka tetap teman-teman baik saya dalam dunia
pendidikan.
Balik lagi
ke awal pembahasan, adakah pengaruh nya riba dalam dunia pendidikan? Menurut saya
sangat berpengaruh, karena guru ( yang meminjam uang di bank dengan sistem “bunga”
) akan terkena ayat Alquran dan hadist di atas. Artinya selama kita masih
bermain dengan “bunga” bank tentu kita masih bergelimang dosa. Bukan berarti
yang tidak meminjam uang di bank tidak punya dosa, punya karena gaji juga masih
ditransfer dari bank konvensional.
Saya tidak
membela diri, tapi gaji adalah (“dipaksa”) oleh sistem dari pusat, kita tidak bisa memilih,
dan kita masih bisa mensiasati dengan tidak mengambil bunga dari gaji kita,
yang kita ambil hanyalah gaji pokok saja. Sedangkan
ketika kita meminjam di bank konvensional, itu adalah pilihan kita ( tidak ada
yang memaksa ). Artinya kita yang memilih untuk bermain dengan “bunga” bank.
Ini refleksi
yang akan coba saya paparkan, ketika kita sudah bermain dengan “bunga” bank,
setiap saat itu pula kita bergelimang dengan dosa besar. Ketika setiap hari
kita mengajarkan ilmu kepada siswa kita, coba kita berfikir, apakah ilmu yang kita
sampaikan akan masuk ke dalam jiwa mereka?
Apakah kita
sekedar mentranfer pengetahuan semata? Padahal amanah kurrikulum 2013 adalah
bagaimana transfer nilai-nilai spiritual dan nilai-nilai sosial yang terwujud
dalam Kompetensi Inti 1 dan Kompetensi Inti 2. Bagaimana kita mentransfer
nilai-nilai KI-1 sedangkan kita sendiri masih bermain dengan dosa yang besar
yaitu dosa “RIBA”.
Jadi,
bila saat ini anak-anak didik kita mendapat nilai yang buruk di akhir semester,
melakukan praktek kecurangan dalam
setiap ujian, melakukan hal-hal negatif,
saat nya kita merefleksi diri kita, jangan-jangan karena kita bergelimang dosa
besar, akhirnya ilmu kita tidak berkah, sehingga apa pun yang kita sampaikan
kepada siswa kita tidak sampai ke jiwa dan akal mereka.
Imam Syafi’i rahimahullah pernah berkata,
شَكَوْت إلَى وَكِيعٍ سُوءَ حِفْظِي فَأَرْشَدَنِي إلَى تَرْكِ
الْمَعَاصِي وَأَخْبَرَنِي بِأَنَّ الْعِلْمَ نُورٌ وَنُورُ اللَّهِ لَا يُهْدَى
لِعَاصِي
“Aku pernah mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku.
Lalu beliau menunjukiku untuk meninggalkan maksiat. Beliau memberitahukan
padaku bahwa ilmu adalah cahaya dan cahaya Allah tidaklah mungkin
diberikan pada ahli maksiat.” (I’anatuth Tholibin, 2: 190).
Mohon maaf bila
tulisan ini menyinggung atau mengganggu, ini hanya sekedar catatan pribadi,
refleksi pribadi, sebagai guru yang juga masih bergelimang dosa agar ke depan
bisa dunia pendidikan lebih baik.
Catatan terakhir,
sebenar nya sudah ada bank syariah yang menyediakan pembiayaan untuk pegawai,
namun belum terlalu populer, sehingga pihak sekolah belum memberikan MOU dengan
bank syariah tersebut.
Wallahu a’lam
Posting Komentar